SMK N 1 SRAGI

Selasa, 30 Agustus 2016

RPP PENDIDIKAN AGAMA HINDU KELAS X

Berikut ini adalah RPP Pendidikan Agama Hindu.
Materi Macam-macam Hari Besar dalam agama Hindu|Download

Selasa, 16 Agustus 2016

MATERI AGAMA HINDU

Materi Pembelajaran : Sraddha 

A. Karma Phala 
1. Pengartian Karma Phala
Dari segi etimologi kata karma berasal dari bahasa sansekerta, yaitu dari urut kata “kri” yang artinya berbuat. Sedangkan phala yang juga berasal dari bahsa sansekerta yang berarti buah/hasil. Dari uraian kata-kata diatas maka, karma phala dapat diartikan perbuatan yang didalamnya terkandung akibat yang dilahirkan seperti apa yang telah tersuratdalam filsafat hindu. Karma phala adalah bagian dari panca sraddha yang merupakan pokok keimanan agama hindu. Percaya terhadap adanya karma merupakan sesuatu yang harus diwujudkan dalam diri masing-masing sehingga dengan demikian ajaran karma phala dapat digunakan sebagai pedoman oleh umat hindu dalam kehidupan sehari-hari. Segala yang di buat oleh manusia akan membawa akibat/hasil yaitu ada yang baik dan ada yang buruk. Akibat yang baik akan memberikan kesenangan dan kebahagiaan, sedangkang akibat yang buruk memberikan kesusahan dan kesengsaraan. Oleh karena itu setiap manusia harus berbuat baik, karena semua orang mendambakan adanya kesenangan, ketenangan, dan kebahagiaan dalam kehidupannya. Dalam weda dinyatakan jalan perbuatan/karma yoga sama pentingya dengan pengetahuan, karena perbuatan dipandang sebagaibagian yang amat penting dalam kehidupan ini. Semua karma yang dilakukan seseorang akan menimbulkan sebab dan akibat. Sebab dan akibat merupakan hokum kuasa, yang bersifat alamiah, atas dasar itulah umat hindu selalu mempergunakan hokum karma sebagai pedoman dalam hidupnya. Tentang karma dalam kitab suci disebutkan sbb: niyatam kuru karma tvam, karma jyayohy akarmanah, sarirayatra pi ca te, na prasidhyed akarmanah. (Bhagawad Gita III.8) Artinya: Lakukanlah pekerjaan yang diberikan padamu, karena melakukan perbuatan itu lebih baik sifatnya dari pada tidak melakukan apa-apa, sebagai juga untuk memelihara badanmu tidak akan mungkin jika engkau tidak bekerja. acodyamanami yatha puspani ca, swam kalam natiwartante tatha karma pura krtam. Mwang menget ri masanya tikang purwa karmaphala ngaranya umatang awaknya kramanya, tan kena tinulak, luput dinohaken, kadi angganing pusphala, an an mengetri masanya, dumani çariranya. (Sarassamuscaya 27.354) Artinya: Dan lagi ingat pada masa yang disebut buah hasil perbuatan dulu itu, artinya mendatangkan dirinya sendiri, tidak dapat ditolak, tidak dapat dijauhkan sebagai halnya bunga-bunga dan buah-buahan yang ingat akan musimnya, itulah seakan-akan mengingatkan akan dirinya. 
2. Bagian-Bagian Karma Phala 
Pada hakekatnya manusia tidak dapat lepas dari karma dan akibatnya, karena karma bersifat alami. Manusia adalah makhluk sosial dan sekaligus makhluk individu. Perbuatan yang baik maupun buruk yang dilakukan seseorang dalam interaksinya sebagai makhluk sosial dan makhluk individu akan dinikmati dalam kehidupan didunia dan sesudahnya. Karma Phala dapat dikelompokan menjadi 3 jenis/macam yaitu : 
1. Sancita Karma Phala Sancita karma phala adalah karma/perbuatan dalam kehidupan masa lampau yang baru dapat dinikmati buahnya dalam kehidupan/kelahiran sekarang. 
2. Prarabda Karma Phala Prarabda karma phala adalah karma/perbuatan yang dilakukan dalam kehidupan sekarang yang buahnya dapat diterima sekarang juga dan biasanya habis dalam kehidupan sekarang. 
3. Kriyamana Karma Phala Kriyamana karma phala adalah karma/perbuatan yang buahnya tidak sempat dinikmati pada kehidupan sekarang, tetapi akan dinikmati dikehidupan yang akan datang. 3. Hakekat Hukum Karma Dalam kitab Suci Weda dinyatakan bahwa jalan perbuatan atau Karma Yoga sama pntingnya dengan jalannya pengetahuan, karena perbuatan di pandang sebagai yang amat penting dari kehidupan. Hidup menurut Weda tidak semata-mata mementingkan keduniawian, tanpa juga menyangkut kehidupan moral dan spiritual. Sehubungan dengan itu perjuangan hidup pada hakikatnya adalah perjuangan kebajikan untuk menundukan kejahatan. Sehubungan dengan itu renungkan pernyataan berikut ini : Svaih sa evair mumurat (Reg Weda VIII.97.3) Artinya: Orang yang bersalah mati karena perbuatanya sendiri. Ya Indra sasti-avrato anusvapam adepayuh (Reg Weda VIII.97.3) Artinya: Ya Tuhan Yang Maha Esa, orang yang malas adalah orang yang tidak beriman, tidak giat dan mengutuk, mati karena perbuatanya sendiri. Adhursata svayam ete vacobhir. Rjuyate vrjinani bruvatah. (Reg Weda V.12.5) Artinya: Orang-orang yang tidak berjalan lurus seperti aku, dihancurkan karena kesalahan-kesalahan mereka sendiri. 
4. Cerita Yang Ada Kaitannya Deangan Karma Phala Maharaja Parikesit Pralaya Karena Perbuatannya Pada suatu hari, Raja Parikesit pergi berburu ke tengah hutan. Ia kepayahan mengejar seekor buruan, lalu berhenti untuk beristirahat. Akhirnya ia sampai di sebuah tempat pertapaan di mana tinggal Bagawan Samiti. Ketika itu sang Resi sedang duduk bertapa dan membisu. Tatkala Sang Raja bertanya kemana buruannya pergi, Bagawan Samiti hanya diam membisu karena pantang berkata-kata saat sedang bertapa. Karena pertanyaannya tidak dijawab, Raja Parikesit menjadi marah dan mengambil bangkai ular yang ada di dekatnya dengan anak panahnya, lalu mengalungkannya ke leher Bagawan Samiti. Peristiwa itu kemudian diceritakan Sang Kresa kepada putera Bagawan Samiti yang bernama Sang Srenggi yang pemarah. Saat Sang Srenggi pulang, ia melihat bangkai ular hitam melilit leher ayahnya. Karena marahnya, kemudian Sang Srenggi mengucapkan kutukan bahwa Raja Parikesit akan mati digigit ular dalam tujuh hari sejak kutukan tersebut diucapkan. Bagawan Samiti kecewa terhadap perbuatan puteranya tersebut, yang mengutuk raja yang telah memberikan mereka tempat berlindung. Akhirnya Bagawan Samiti berjanji akan mengurungkan kutukan tersebut. Ia lalu mengutus muridnya untuk memberitahu Sang Raja, namun Sang Raja merasa malu untuk meminta diurungkannya kutukan tersebut dan memilih untuk berlindung. Pada saatnya, Naga Taksaka pergi ke Hastinapura untuk melaksanakan perintah Sang Srenggi untuk menggigit Sang Raja. Penjagaan di Hastinapura sangat ketat. Sang Raja berlindung dalam menara tinggi dan dikelilingi oleh prajurit, brahmana, dan ahli bisa. Untuk dapat membunuh Sang Raja, Naga Taksaka lalu menyamar menjadi ulat dalam buah jambu. Kemudian jambu tersebut disuguhkan kepada Sang Raja. Merasa telah aman, karena saat itu adalah sore hari ke tujuh, Raja Parikesit menjadi lengah. Kutukan tersebut lalu menjadi kenyataan. Ketika jambu hendak dimakan, ulatnya berubah menjadi Naga Taksaka kembali, yang lalu menggigit leher Sang Raja. Parikesit lalu tewas menjadi abu, dan Naga Taksaka pulang ke dalam bumi.

 B. Punarbhawa 
1. Pengertian Punarbhawa 
Kata Punarbhawa berasal dari bahasa Sansekerta, terdiri dari dua kata, yaitu kata punar yang berarti lagi/kembali, dan kata bhawa berarti menjelma. Jadi Punarbhawa berarti kelahiran yang berulang-ulang yang disebut juga penitisan atau samsara. Punarbhawa atau samsara ini terjadi diakibatkan oleh adanya Hukum Karma, dimana karma yang jelek menyebabkan atma (roh) menjelma kembali untuk memperbaiki perbuatannya yang tidak baik, atau karena atma itu masih dipengaruhi oleh Karma Wasana (bekas-bekas atau sisa-sia perbuatan) atau kenikmatan duniawi sehingga tertarik untuk lahir ke dunia. Kelahiran atma yang berulang – ulang ke dunia ini membawa akibat suka-duka. Di dalam kitab suci Bagawanghita Bab IV. 5 Sri Krsna bersabda: Sribhagavan uvaca Bahuni aham vyatitani janmani tava carjuna Tanya ham veda sarvani na twam vettha parantapa (Bhagawad Gita IV.5) Artinya: Sri bhagavaan berkata: Banyak kelahiran-Ku di masa lalu demikian dan pula kelahiran mu,Arjuna Semua ini aku tahu tetapi engkau sendiri tidak, parantapa. Sri Bhagawan Uvaca Bahuni me vyantati janmani tava ca Arjuna, Tanya aham veda sarvani na tvam cttha paramtapa. (Bhagawad Gita IV.9) Artinya: Sri BHagawan Bersabda Banyak kehidupan yang telah banyak Ku jalani dan kemudian pula engaku, O Arjuna, semua kelahiran itu aku ketahui tetapi engkau tidak dapat mengetahuinya. Apabila pada saat kematiannya itu tidak ada bekas-bekas kemewahan (ikatan keduniawiaan), maka ia akan terus bersatu dengan Ida Sang Hyang widhi Wasa dan mencapai tujuan akhir yang di sebut Moksa. Meskipun tujuan akhir manusia adalah untuk mencapai moksa, tetapi kelahiran kitaka dunia sebagai manusia adalah suatu kesempatan untuk meningkatkan kesempurnaa hidup guna mengatasi kesengsaraan, dan juga untuk dapat melenyapkan pengaruh karma (maya) yang merupakan sebab utama timbulnya Punarbhawa atau samsara. Setiap karma yang dilakukan atas dorongan indria dan kenafsuan adalah Asubha Karma karena akibatnya akan menimbulkan dosa, dan atma akan mengalami Neraka serta selanjutnya akan mengalami penjelmaan Punarbhawa dalam tingkat yang lebih rendah. 

2. Hakikat Punarbhawa  
Adanya kelahiran hidup dan mati secara berulang-ulang yang di alami oleh seseorang, sesungguhnya adalah suatu penderitaan yang disebabkan oleh perbuatan di masa hidup yang lampau. Karma pada masa kehidupan yang terdahulu akan membentuk wasana pada badan asalnya, inilah yang menentukan munculnya punarbhawa. Sesungguhnya ajaran karma phala dan punarbhawa merupakan suatu proses, keberadaan Punarbhawa hendaklah dipandang sebagai kesempatan untuk melekukan karma yang baik bukan suatu yang bersifat negatif. Adanya suka dan duka dalam hidup ini, semua itu disebabkan oleh karma dari kehidupan terdahulu dan juga yang sekarang. Dalam hubunganini umat Hindu sangat percaya akan adanyaPunarbhawa secara ratio, karena di luar batas kemampuan pikiran manusia. Maka dengan adanya Punarbhawa, harus diterima melalui keimanan/keyakinan. Renungkanlah sloka dibawah ini : Yesam tv antagatam papam jananam punyakarmanam. (Bhagawad Gita VII.28) Artinya: Akan tetapi bagi mereka yang salah, yang dosanya sudah bebas dari tipuan kedua sifat tadi, Aku menyembah dengan penuh ketekunan dan keyakinan. Manusia memiliki lapisan badan, yaitu: Annamaya Kosa, Pranamaya Kosa, Manomaya Kosa, Wijnanamaya Kosa, dan Anandamaya Kosa. Lapisan badan pertama terbuat dari makanan dan minuman, yang kedua dari prana atau energy, yang ketiga terdiri dari alam pikiran, yang keempat terdiri dari pengetahuan, dan yang terakhir terdiri dari rasa kebahagiaan. Pada lapisan-lapisan badan inilah keberadaan karma wasana itu yang menyebabkan adanya punarbhawa. Kelahiran kita kedunia sesungguhnya sudah terjadi secara berulang-ulang yang dialami oleh sumua orang, tetapi mereka tidak mengetahuinya. Hanya Tuhanlah yang mengetahui tentang kelahiran secara berulang-ulang itu, sedangkan manusia tidak mengetahui karena ia Awidya. Dalam agama Hindu disebutkan bahwa kelahiran Tuhan kedunia yang menjelma sebagai manusia dinamakan Awatara, tujuannya adalah untuk menegakan dharma. Sedangkan tujuan manusia lahir ke dunia untuk memperbaiki karmanya, sehingga ia dapat menyatu dengan Tuhan. 3. Cerita Tentang Punarbhawa Shanti devi Shanti Devi, seorang gadis muda dari India, yang tinggal di Delhi (lahir tahun 1926), yang pada umur tiga tahun mulai mengingat dan bercerita tentang hal-hal dari kehidupan masa lalu di kota Muttra yang jauhnya 80 mil. Dia mengatakan bahwa dia telah menikahi seorang saudagar kain, melahirkan seorang anak laki-laki dan meninggal dunia 10 tahun kemudian, dan banyak pernyataan yang diceritakan secara detail tentang kehidupan masa lalunya sampai ia berumur 9 tahun. Pernyataan-pernyataan tersebut direkam. Suatu komisi dibentuk untuk merencanakan dan menyaksikan kunjungannya ke Muttra, tempat keluarga yang sering disebut oleh Shanti Devi, dan menyaksikan bahwa ia benar-benar mengenali sanak saudaranya yang lain dimasa lalu, mengetahui dengan detail jalan ke rumahnya yang dahulu dikenalinya dan bahkan mengungkapkan bahwa ada uang yang disembunyikannya di dalam rumah tersebut. Tempat persembunyiannya ditemukan dan mantan suaminya mengakui dia telah memindahkan uang tersebut. Swarnlata Mishra Swarnlata Mishra lahir pada keluarga kaya dan intelektual di Pradesh India pada tahun 1948, ketika ia berusia 3 tahun dan bepergian dengan ayahnya melewati kota Katni (lebih dari 100 Mil dari rumahnya), tiba-tiba ia menunjuk dan meminta supir untuk berbelok arah menuju ‘rumahku’ dan mengajak mereka untuk menikmati secangkir teh di sana daripada meneruskan perjalanan. Beberapa saat kemudian, ia menceritakan lebih detail mengenai hidupnya di Katni (semuanya dituliskan oleh ayahnya). Namanya adalah Biya Pathak, dan ketika itu ia punya 2 anak, ia memberikan detail keadaan rumahnya di Zhurkutia, Distrik Katni, ada pintu hitam dengan baut besi, empat ruangan disemen namun di bagian lainnya belum selesai, lantai depan dari batu. Di belakang rumah ada sekolah khusus wanita, di depan jalan ada rel kereta api dan tempat pembakaran kapur yang terlihat dari rumah. Ia menambahkan bahwa keluarga itu mempunyai sepeda motor (barang yang sangat langka di tahun 1950 dan bahkan lebih langka lagi sebelum Swarnlata lahir). Swarnlata katakan bahwa Biya wafat karena ‘sakit di tenggorokan’ dan ia dirawat oleh Dr. S.C Bhabrat di Jabalpur. Ia juga ingat insiden pada satu perkawinan ketika ia dan temannya sulit menemukan kakus. Di musim semi 1959, ketika Swarnlata berusia 10 tahun, berita kasus ini sampai pada Prof. Sri H.N.Banerjee, seorang peneliti penomena paranormal keturunan India yang merupakan rekan sekerja Stevenson. Banerjee membawa catatan yang dibuat ayah swarnlata dan mengunjungi Katni untuk memverifikasi ingatan Swarnlata. Dengan menggunakan deskripsi yang diberikan Swarnalata, ia menemukan rumah keluarga Pathak yang ketika itu telah diperbesar dan mengalami peningkatan daripada tahun 1939 ketika Biya meninggal. Pathak merupakan keluarga yang makmur, terkemuka, terpelajar dengan banyak keterlibatan bisnis. Mereka tidak mempercayai adanya Reinkarnasi. Pembakaran kapur berada di sekitar tanah milik sekolah khusus wanita, 100 yard dibelakang tanah Patak tapi tidak terlihat dari depan. Ia menginterview keluarga dan memverifikasi semua yang dikatakan Swarnlata. Biya Pathak wafat tahun 1939, meninggalkan suami, 2 orang anak lelaki dan banyak adik lelaki. Pathak tidak pernah mendengar tentang keluarga Mishra yang tinggal 100 mil jauhnya dan Mishra pun tidak mempunyai pengetahuan apapun tentang keluarga Pathak. Pada musim panas 1959, Suami Biya, anak dan saudara tertua bepergian ke Chhatarpur, kota tempat tinggal Swarnlata, untuk mencek ingatan Swarnlata. Mereka tidak mengungkapkan identitas dan tujuan mereka pada siapapun di kota, namun terdaftar 9 orang di kota menemani mereka ke rumah Mishar dengan tidak memberitahukan kedatangan mereka terlebih dahulu. Swarnlata segera mengenali kakaknya dan memanggilnya ‘Babu’ panggilan sayang Biya untuknya. Swarnlata yang berusia 10 tahunan berjalan ke sekeliling ruangan kepada tiap orang secara bergilir, beberapa ia kenal sebagai penduduk kotanya, beberapa adalah orang asing baginya. Sesampainya ia di depan Sri Chintamini Pandey, suami Biya, Swarnlata menundukan wajahnya, tersipu malu seperti layaknya istri Hindu ketika berhadapan dengan suaminya dan menyebutkan namanya. Swarnlata juga menyebutkan dengan tepat anak dari kehidupan lampaunya, Murli, yang berusia 13 tahun saat Biya wafat. Murli berencana mengecoh Swarnlata. Selama lebih dari 24 jam bersikeras bahwa ia bukan Murli namun orang lain. Murli juga membawa teman dan juga mencoba mengecoh Swarnlata dengan bersikeras bahwa itu adalah Naresh, anak Biya yang lain, yang seumuran dengan temannya itu. Swarnalata bersikeras bahwa orang itu tidak dikenalnya! Akhirnya Swarnalata mengingatkan Sri Pandey bahwa Pandey pernah mencuri 1200 rupee yang Biya simpan di Box. Sri Pandey mengakui fakta pribadi yang hanya diketahui ia dan istrinya saja! Beberapa minggu kemudian, Swarnalata dan ayahnya ke Katni untuk mengunjungi kampung halaman di mana Biya tinggal dan meninggal. Sesampainya disana, Swarnlata segera mengenali perubahan yang terjadi di rumah itu. Ia menanyakan tentang sandaran di belakang rumah, beranda dan pohon neem yang biasa tumbuh di halaman yang semuanya tidak ada lagi setelah kematian Biya. Ia mengenali kamar biya di mana Biya meninggal. Ia mengenali kakak Biya dan menyatakan sebagai kakak kedua, juga yang ketiga dan yang keempat, istri dari saudara termudanya anak dari kakak keduanya, teman dekat kelurganya (menyebutkan bahwa teman keluarganya itu sekarang memakai kacamata dan dulu tidak) dan istrinya (memanggil namanya ‘Bhoujai’). Ia juga dengan tepat mengidentifikasi pembantu terdahulu, penjual buah pinang tua dan keluarga penggembala sapi, meskipun adik lelakinya berusaha untuk mengetes Swarnlata bahwa penggembala itu sudah wafat. Kemudian, Swarnalata dihadapkan pada ruangan yang penuh dengan orang dan ditanya ada yang dikenalnya atau tidak. Ia dengan tepat menunjuk sepupu laki-laki suaminya, Istri dari ipar Biya, Bidan (yang disapa dengan nama ketika Biya masih hidup, bukan dengan nama saat ini). Anak Biya, Murli dalam satu tes yang lain ia mengenalkan Swarnlata dengan seorang pria yang katakan teman barunya, Bhola. Namun Swarnlata bersikeras bahwa itu adalah anak keduanya, Naresh. Dalam satu tes lain, saudara termuda Biya mengatakan bahwa Biya kehilangan gigi, Swarnlata katakan bahwa Biya mempunyai gigi emas di bagian depan. (Justru si adik lupa bahwa Swarnlata pake gigi emas, namun istrinya si adik menyatakan bahwa yang dikatakan swarnlata itu benar). Swarnlata bertindak sangat Pede, berprilaku sebagai kakak tertua di rumah, akrab dengan nama intim dan rahasia keluarga dan mengingat hubungan perkawinan dan lain-lain. Swarnlata berperilaku sepantasnya dengan tetua Biyam namun ketika berdua dengan anak-anak Biya, ia begitu relaks dan berperilaku seperti ibu, meskipun terlihat jelas kejanggalan bahwa anak 10 tahunan dengan pria-pria di usia pertengahan 30. Saudara-saudara pria di keluarga Pathak dan Swarnlata mengikuti kebiasaan Hindu, Rakhi, di mana kakak dan adik tiap tahun memperbaharui sayang di antara mereka dengan bertukar kado, bahkan keluarga Pathak agak kesal dan kecewa satu tahun ketika Swarnalata lupa upacara itu. Mereka merasa bahwa Swarnlata hidup bersama mereka 40 tahun dan hanya 10 tahun dengan keluarga Mishra jadi merasa lebih berhak atasnya. Ini bukti betapa percayanya keluarga itu bahwa Swarnlata adalah Biya. Mereka mengakui mengubah pandangan mereka tentang reinkarnasi sejak bertemu Swanlata dan mengakui bahwa ia adalah kelahiran kembalinya Biya. Beberapa tahun kemudian, ketika waktunya Swarnlata menikah, Ayah Swarnlata berkonsultasi dengan keluarga Pathak mengenai pilihan suaminya. C. Hubungan Karma Phala Dengan Punarbhawa Percaya dengan adanya karma phala dan punarbhawa merupakan pokok keimanan dalam Agama Hindu. Keduanya memiliki hubungan yang sangat erat satu dengan yang lainnya, dimana munculnya punarbhawa disebabkan oleh adanya karma phala dari kehidupan yang lampau dan yang sekarang. Semua makhluk di dunia ini tidaklah bisa melepaskan diri dari siklus kehidupan ini, sehingga setiap masa kehidupan makhluk itu diharapkan dapat membawa dirinya kearah yang lebih sempurna, bukan sebaliknya. Seseorang yang tidak mengikuti aturan hidup yang ditetapkan oleh Sang Penciptamenyebabkan adanya penjelmaan ketingkat yang rendah. Tetapi terhadap mereka yang disiplin mengikuti aturan hidup yang diwahyukan oleh Tuhan dalam kitab suci Weda akan meningkat penjelmaannya. Hubungan karma phala dengan punarbhawa dinyatakan dalam kitab suci sebagai berikut: San rajaih karmadosairyati, sthawaratam narah wacika, paksimrgatam manasair antyajatitam (Manawadharmasastra XII.9) Artinya: sebagai akibat daripada dosanya yang dilakukan oleh badan, seseorang akan menjadi benda tak bernyawa kelak dikelahirannya, kemudian akibat dosa yang dibuat oleh kata-kata akan menjadi burung atau binatang buas dan sebagai akibat dosanya oleh pikiran akan lahir kekelahiran yang rendah. Dewatwamsattwika yanti, manusyatwam ca rajasah, tiryah twam tamasa nityam ityessa triwidha gatih (Manawadharmasastra XII.40) Artinya: mereka yang memiliki sifat-sifat sattwam akan mencapai alam dewata, mereka yang memiliki sifat-sifat rajas mencapai alam manusia dan mereka yang memiliki sifat-sifat tamas akan terbenam pada sifat-sifat binatang, itulah tiga jenis perbuatan. Bila seseorang banyak berbuat dosa dalam hidupnya, maka menderitalah mereka di dunia dan begitupula sesudahnya. Hendaklah seseorang selalu berbuat baik, agar mendapat pahala yang baik pula. Pandanglah kelahiran sebagai manusia merupakan suatu anugrah Tuhan untuk memperbaiki karma.

Selasa, 09 Agustus 2016

HARI SUCI DALAM AGAMA HINDU

Materi Pembelajaran : Hari Suci 

A. Pengertian Hari Suci Keagamaan 
Hari suci atau rerahinan adalah hari yg diperingati atau di istimewakan berdasarkan kenyakinan bahwa hari itu mempunyai makna bagi kehidupan seseorang/masyarakat karena pengaruhnya dan karna nilai-nilai didalamnya. Bila peringatan hari suci itu dilakukan secara rutin maka acara itu disebut Rerahinan atau sehari-hari. Bila kita pelajari acara rerahinan ini maka hari-hari suci itu ada pada siklus tertentu, dan mempunyai hari puncak dimana hari puncak itu akan kembali kehari permulaan. Hari suci yang dirayakan oleh seluruh umat disebut hari raya atau rerahinan gumi (jagat). Sedangkan hari suci yang dirayakan oleh kelompok-kelompok tertentu disebut dengan nama odalan atau piodalan. Piodalan atau pawedalan berasal dari kata Wedal yang artinya lahir. Jadi pawedalan atau piodalan merupakan hari suci untuk memperingati kelahiran sesuatu (bukan manusia) atau hari jadi suatu Pura (Karena piodalan biasanya ditujukan untuk tempat suci atau sesuatu lainnya seperti Hari suci Galungan disebut sebagai hari pawedalan jagat. 

B. Perhitungan Hari Suci 
Untuk menentukan hari suci, didasarkan atas beberapa perhitungan, diantaranya Wewaran, Pawukon, penanggal, panglong, dan sasih. Hal ini banyak dijelaskan didalam Wariga yaitu pedoman untuk mencari ala-ayuning (baik-buruknya) hari atau dewase. Berbagai macam proses, prinsip dan ketentuan yang melatarbelakangi perhitungan dan pelaksanaan atau perayaan hari-hari suci agama Hindu. Adapun dasar perhitungan yang dimaksud seperti : 
1. Sistem perhitungan wara, yaitu perhitungan yang didasarkan atas adanya wewaran, misalnya perpaduan antara Tri Wara dengan Panca Wara dan Sapta Wara. 
2. Sistem perhitungan wuku, yaitu perhitungan hari Suci yang didasarkan atas pawukon, yakni dai wuku sinta sampai dengan watugunung. 
3. Sistem pranatamasa, yaitu perhitungan hari suci yang didasarkan atas sasih. 
4. Sistem tithi, yaitu perhitungan hari suci yang dihubungkan dengan peredaran bulan, seperti purnama dan tilem. 
5. Sistem naksatra, yaitu hari suci yang dirayakan berdasarkan perhitungan musim atau yang bersifat musiman. 
6. Sistem yoga, yaitu hari suci yang dirayakan berdasarkan perhitungan letak letak tata surya atau planet-planet angkasa. Mengingat keberadaan planet-planet tersebut sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan terutama manusia. 
7. Sistem karana, yaitu hari suci yang dirayakan berdasarkan perhitungan pertemuan antar bulan dengan matahari. 

C. Jenis-Jenis Hari Suci 
Ada dua jenis upacara hari suci, yaitu : 
1. Nitya karma adalah upacara yang dilaksanakan pada hari suci yang bersifat rutin dan umum untuk dilakukan oleh semua umat Hindu. Seperti yadnya sesa atau ngejot. 
2. Naikmitika karma adalah upacara yang bersifat relatif, dilaksanakan menurut tujuan secara khusus dan oleh siapa saja tanpa terikat waktu. Seperti dewa yadnya dan manusa yadnya. 

D. Proses Perayaan Hari Suci
a. Hari Raya Nyepi 
Hari raya Nyepi atau tahun baru Saka merupakan hari raya umat Hindu yng dirayakan setiap tahun baru sekali yang merupakan peringatan tahun baru saka yang jatuh pada tanggal apisan (1) sasih kedasa dan hari raya Nyepi ini telah diakui sebagai hari libur nasional mulai tahun 1983. Berikut rangkaian hari raya Nyepi: 
1. Melasti berasal dari kata Mala = kotoran/ leteh, dan Asti = membuang/ memusnakan. Melasti merupakan rangkaian upacara Nyepi yang bertujuan untuk membersihkan segala kotoran badan dan pikiran (buana alit), dan amertha) bagi kesejahtraan manusia. Pelaksanaan melasti ini biasanya dilakukan dengan membawa arca, pretima, barong yang merupakan simbolis untuk memuja manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa diarak oleh umat menuju laut atau sumber air untuk memohon pembersihan dan tirta amertha (air suci kehidupan). 
2. Tawur Agung/Tawur Kesanga atau Pecaruan dilaksanakan sehari menjelang Nyepi yang jatuh tepat pada Tilem Sasih Kesanga. Pecaruan atau Tawur dilaksanakan catuspata pada waktu tengah hari. Filosofi Tawur adalah sebagai berikut tawur artinya membayar atau mengembalikan sari–sari alam yang telah dihisap dan digunakan manusia. Sehingga terjadi keseimbangan maka sari–sari alam itu dikembalika dengan upacara Tawur/Pecaruan yang dipersembahkan kepada Butha sehingga tidak mengganggu manusia melainkan bisa hidup secara harmonis (Butha Somya). Filosofi tawur dilaksanaka pada catuspata menurut Perande Made Gunung agar kita selalu menempatkan diri ditengah alias selalu ingat akan posisi kita, jati diri kita, dan perempatan merupakan lambang tapak dara, lambang keseimbangan, agar kita selalu menjaga keseimbanga dengan atas (Tuhan), bawah (Alam Lingkungan), kiri kanan (Sesama Manusia). 
 3. Nyepi jatuh pada Penanggal Apisan Sasih Kedasa (Tanggal 1 Bulan ke 10 Tahun Caka). Umat Hindu merayakan Nyepi selama 24 jam. Umat diharapkan melaksanakan Catur Brata Penyepian yaitu: 
• Amati Geni Tidak boleh menyalakan api. Amati geni mempunyai makna ganda yaitu tidak melaksanakan kegiatan yang berhubungan dengan menghidupkan api. Disamping itu juga merupakan upaya mengendalikan sikap perilaku agar tidak dipegaruhi oleh api amarah (kroda) dan api serakah (loba). 
• Amati Lelanguan Artinya tidak boleh bersenang – senang atau menikmati hiburan. Amati lelanguan yang dimaksud merupakan kegiatan seseorang mulat sarira atau nawas diri. 
• Amati Karya Artinya tidak boleh bekerja. Amati karya bermakna gada yang artinya tidak bekerja dimaknai sebagai kesempatan untuk mengevaluasi kerja kita apakah aktifitas kerja itu sudah berlandaskan dharma atau sebaliknya. Kerja yang baik (subha karma) dapat menolong manusia terhindar dari penderitaan. Hal yang perlu dilakukan adalah tapa, brata, yoga, dan Samadhi. 
• Amati Lelungan Artinya tidak boleh bepergian. Amati lelungan merupakan salah satu dari empat brata penyepian yang berfungsi sebagai evaluasi diri dan sebagai sumber pengendalian diri. 4. Ngembak Geni berasal dari kata ngembak yang berarti mengalir dan geni yang berarti api yang merupakan symbol dari Brahma (Dewa Pencipta) maknanya pada hari ini tapa berate yang kita laksanakan selama 24 jam (Nyepi) hari ini bisa diakhiri dan kembali beraktifitas seperti biasa, memulai hari yang baru untuk berkarya dan mencipta alias berkreatifitas kembali sesuai swadharma/kewajiban masing – masing. Ngembak geni biasanya diisi dengan kegiata mengunjungi kerabat atau saudara untuk bertegur sapa dan bermaaf – maafan. 

b. Hari Raya Galungan 
Hari raya Galungan diperingati setiap 210 hari sekali yang jatuh pada hari rabu kliwon wuku Dungulan. Hari raya Galungan ini juga disebut sebagai Hari Pawedalan Jagat mengandung makna untuk pemujaan Ida Sanghyang Widhi wasa karena telah menciptakan dunia dengan segala isinya. Selain itu juga Hari raya Galungan merupakan hari kemenangan Dharma melawan Adharma. Hari raya Galungan diperkirakan ada di Indonesia sejak abad XI. Hal ini didasarkan antara lain : Kidung Panji Malat Rasmi dan Pararaton Kerajaan Majapahit. Perayaan semacam ini di India disebut Sraddha Wijaya Dasani Di Bali sebelum Pemerintahan Raja Sri Jaya Kesunu perayaan Galungan pernah tidak dilaksanakan oleh karena Raja-raja pada jaman itu tidak memperhatikan upacara Keagamaan.Hal tersebut berakibat kehidupan rakyat sangat tidak aman serta penderitaan dimana-mana serta umur Raja-raja berumur pendek. Kemudian setelah Raja Sri Jaya Kesunu naik tahta dan mendapatkan pewarah-warah dari Bhatari Durga atas permohonannya maka Galungan kembali dirayakan dengan suatu ketetapan tidak ada galungan batal dilaksanakan. Adapun proses dan runtutan perayaannya adalah: 
1. Tumpek Wariga merupakan proses awal dalam melaksanakan Hari Raya Galungan yakni tepat 25 hari sebelumnya yang jatuh tepat pada Hari Sabtu Kliwon Wuku Wariga. Tumpek ini juga sering disebut dengan Tumpek Pengatag, Tumpek Pengarah, Tumpek Uduh atau Penguduh. Adapun makna dari Tumpek Wariga tersebut adalah memohon keselamatan kepada semua tumbuh-tumbuhan agar dapat hidup dengan sempurna dan dapat memberikan hasil untuk bekal merayakan Galungan. 
2. Hari Sugihan Jawa dirayakan setiap 210 hari atau 6 bulan sekali pada hari Kamis Wage wuku Sungsang tepat 6 hari sebelum hari Galungan. Perayaan Sugihan Jawa bermakna memohon kesucian terhadap Bhuwana Agung (Alam semesta). 
3. Hari Sugihan Bali dirayakan juga setiap 6 bulan sekali pada hari Jumat Kliwon wuku Sungsang yaitu 5 hari Galungan,sehari setelah Sugihan Jawa.cuma bedanya untuk hari sugihan Bali memohon keselamatan terhadap Bhuwana Alit atau diri masing-masing perorangan. 
4. Hari Penyekeban. Pada hari penyekeban yang jatuh pada Minggu Paing wuku Dungulan atau 3 hari sebelum Galungan. Hari Penyekeban bagi masyarakat umum dimaknai sebagai hari penyekeban buah-buahan yang akan dipakai sarana persembahyangan. Sehingga tepat di Hari Galungan nanti diharapkan semua buah-buahan sudah masak. Tetapi secara Epistemologi Hari Penyekeban bermakna menyekeb atau pengendalian diri, karena diyakini pada hari ini Sang Tiga Wisesa Kala mulai turun menggoda kemampuan serta keyakinan manusia. Hal ini disebutkan “Anyekung Jnana Suaha Nirmala agar terhindar dari Godaan-godaan. 
5. Hari Penyajaan Galungan jatuh pada Senen/Soma Pon wuku Dungulan 2 hari sebelum Galungan. Pada hari ini dipergunakan sebagai hari persiapan membuat jajan bagi masyarakat umum. Dan juga diyakini pada hari ini turunnya sang Bhuta Dungulan untuk menguji kesungguhan hati Umat Hindu didalam menyambut Hari besar Galungan. Patut diwaspadai pada hari ini akan banyak godaan-godaan menguji kesabaran manusia. 
6. Hari Penampahan Galungan jatuh pada Selasa/Anggara Wage wuku dungulan sehari sebelum Hari Raya Galungan. Pada hari ini bagi para Bapak-bapak melaksanakan pemotongan hewan, membuat sate, lawar dan lain sebagainya. Sedangkan bagi Ibu-ibu dan remaja putri metanding/mengatur sesajen/bebantenan yang akan dipergunakan esok harinya. Patut diwaspadai pula pada hari ini diyakini turunnya Bhuta Amangkurat yang akan menggoda manusia dimuka bumi. Hindari pertengkaran di hari ini. Pada sore harinya seluruh anggota keluarga melaksanakan upacara Biyakala serta membuat Penjor. 
7. Hari raya Galungan jatuh pada hari Rabu/Buda Kliwon wuku dungulan, merupakan Puncak Upacara peringatan Kemenangan Dharma melawan Adharma. Pada hari ini seluruh Umat Hindu melaksanakan persembahyangan ditempat-tempat suci seperti Pura, Candi dan sebagainya sebagai wujud kebahagiaan telah melalui masa-masa godaan oleh sang Bhuta Dungulan. 
8. Hari Peraridan Guru jatuh pada hari Sabtu/Saniscara Pon Wuku Dungulan. Pada hari ini semua umat Hindu mensucikan diri dengan mandi di Pantai serta sumber mata air dilanjutkan memohon keselamatan dengan makan sisa Yajnya berupa Tumpeng Guru bersama seluruh anggota keluarga. 
9. Hari Raya Kuningan juga merupakan runtutan dari hari raya Galungan dimana datangnya 10 hari setelah hari raya Galungan. Hari Kuningan merupakan hari Pertahanan/Kekuatan/Hari Pahlawan. Pada hari Kuningan juga seluru umat Hindu melaksanakan persembahyangan di tempat-tempat suci seperti halnya hari raya Galungan. Akan tetapi disarankan pada hari ini Umat melaksanakan persembahyan sebelum matahari condong ke Barat. Dengan kata lain tidak disarankan melaksanakan persembahyan di Sore hari. Sarana upakara yang dipergunakan pada hari Kuningan melambangkan kesemarakan dan kemeriahan terdiri dari berbagai macam jejahitan yang memiliki simbol alat-alat perang diantaranya Tamiyang kolem,Endongan wayang-wayang dan lain sebagainya. 
10. Budha Kliwon Pegatuakan jatuh pada hari Buda/Rabu Kliwon Wuku Pahang. Pegatuakan memiliki dua suku kata yakni Pegat dan Uwakan yang artinya Pegat=Putus dan Uwakan=Bebas. Jadi arti dari hari Pegatuakan ini adalah Hari kebebasan dari pantangan-pantangan yang berlaku dari mulainya runtutan perayaan Hari raya Galungan dan Kuningan. Seperti diketahui, mulai sejak wuku Sungsang hingga Wuku Pahang terutama Wuku Dungulan hingga Buda Kliwon wuku Pahang,disebut “nguncal balung”. Nguncal=Melempar,membuang,melepas dan Balung=Tulang. Jadi arti kata nguncal balung merupakan dilepaskannya sifat-sifat Kala dari Sanghyang Kala Tiga baik dalam wujud Purusa (Kala Rudra) maupun dalam wujud Pradhana(Dhurga Murti)sehingga kembali dalam keadaan Somia/Tenang. Pada hari ini juga seluru sarana upakara hari Galungan dan Kuningan di prelina/disaag seperti halnya Penjor dicabut serta hiasannya dibakar dan abunya ditanam dipekarangan rumah. 

E. Prinsip-Prinsip Pokok Hari Suci Keagamaan 
Pemujaan atau penghormatan kepada Ida Sang Hyang Widhi dengan segala manifestasinya di selenggarakan dengan yadnya. Pelaksaan yadnyta tersebut sudah memiliki ketentuan seperti dalam lontar Sundhari Gama. Hal ini diatur menjadi 5 bagian, yaitu : 
1. Hari raya atau Yadnya yang dilakukan setiap hari. 
2. Hari raya berdasarkan pertemuan tri wara dan panca wara. 
3. Hari raya berdasarkan pertemuan sapta wara dan panca wara. 
4. Hari raya berdasarkan pawukon. 
5. Hari raya berdasarkan sasih. 
a. Hari Raya /Yadnya Yang Dilakukan Setiap Hari. Sesuai dengan namanya, yadnya ini di lakukan setiap hari. Contohnya para sulinggih melakukan Surya Sewana, umat hindu melakukan Tri Sandya, Tapa Yadnya, Yoga Yadnya, Swadhyaya Yadnya dan Dyana Yadnya. Selain itu yang terpenting adalah Yadnya sesa. Yadnya sesa adalah Yadnya yang dilakukan setiap habis memasak dan d tujukan pada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan segala kekuatannya. 
b. Hari Raya Berdasarkan pertemuan Tri Wara dan Panca Wara. Kajeng Kliwon adalah hari raya berdasarkan pertemuan Tri wara dan Panca wara. Karena kejeng adalah bagian dari Tri wara (Pasah,Beteng,Kajeng) dan Kliwon merupakan bagian dari Panca Wara (Umanis, Pahing, Pon, Wage, Kliwon). Ketika kajeng dan kliwon bertemu, maka di sebutlah hari raya kajeng kliwon yang datangnya 15 hari sekali. 
c. Hari Raya Pertemuan Sapta Wara dan Panca Wara. Anggara Kliwon, Budha Wage, Saniscara Kliwon(tumpek) adalah hari raya berdasarkan pertemuan Sapta wara dan Panca wara. Karena anggara,budha, dan saniscara adalah bagian dari sapta wara sedangkan kliwon dan wage adalah bagian dari panca wara. 
d. Hari Raya Berdasarkan Pawukon. Budha Kliwon Dungulan(Galungan) adalah salah satu contoh hari raya berdasarkan wuku. Karena hanya pada wuku Dungulan tersebut pada hari pertemuan Budha dan kliwon di sebut hari raya Galungan. Jika ada pertemuan budha dan kliwon di wuku yang lain tidak bisa di katakan hari raya Galungan. 
e. Hari Raya Berdasarkan Sasih Siwa Ratri adalah salah satu contoh hari raya berdasarkan sasih. Karena pada hari Siwaratri hanya di rayakan pada Purwaning sasih kapitu. Tidak mungkin hari raya Siwa Ratri di rayakan di purnawing sasih lainnya. 

F. Penentuan Hari Baik/Buruknya 
Berdasarkan perhitungan Hindu Wewaran merupakn salah satu unsur yang membangun sistem wariga yng akan melahirkan pedewasaan yang baik untuk suatu kegiatan dan tidak baik untuk kegiatan yang lain. Berikut adalah sifat-sifat wewaran: 
1. Ekawara : Luang berarti tunggal (kosong) 
2. Dwiwara : Menga berarti terbuka (terang), Pepet berarti tertutup (gelap) 
3. Triwara : Pasah/Dora berarti tersisih, baik untuk Dewa Yadnya, Beteng/Waya berarti makmur, baik untuk Manusia Yadnya, Kajeng/Byantara berarti tekanan tajam, baik untuk Bhuta Yadnya. 
4. Caturwara : Sri berarti kemakmuran, Laba berarti berhasil (pemberian), Jaya berarti kemenangan (unggul), Mandala berarti sekitar (daerah), mencapai kemakmuran 
5. Pancawara : Umanis berarti rasa, Paing berarti cipta, Pon berarti idep, Berarti Angen, Kliwon berarti Budhi 
6. Sadwara : Tungleh berarti tak kekal, Aryang berarti kurus, Urukung berarti Punah, Paniron berarti gemuk, Was berarti kuat, Maulu berarti membiak 
7. Saptawara : Redite berarti soca menanam semua yang beruas, Soma berarti bungkah menanam umbi-umbian, Anggara berarti godhong menanam sayur-sayuran daun, Buda berarti kembang menanam semua jenis bunga, Wraspati, berarti wija menanam yang menghasilkan biji, Sukra berarti woh menanam buah-buahan, Saniscara berarti pager menanam pagar atau turus 
8. Astawara : Sri berarti makmur (pengatur), Indra berarti indah (penggerak), Guru berarti tuntunan (penuntun), Yama berarti adil (peradilan), Rudra berarti peleburan, Brahma berarti pencipta, Kala berarti nilai, Uma berarti pemelihara (peneliti) 
9. Sangawara : Dangu artinya antara terang dan gelap, Jangur artinya antara jadi dan batal, Gigis artinya sederhana, Nohan artinya gembira, Ogan artinya bingung, Erangan artinya dendam, Urungan artinya batal, Tulus artinya langsung, Dadi artinya dadi 
10. Dasawara : Pandita artinya bijaksana, Pati artinya tegas/dinamis, Suka artinya gembira/periang, Duka artinya mudah tersinggung, tetapi jiwanya seni, Sri artinya kewanitaan, perasaan halus, Manuh artinya selalu taat, menurut, Manusa artinya mempunyai rasa sosial, Raja artinya mempunyai jiwa kemimpinan, Dewa artinyamempunyai budi luhur (kerokhanian), Raksasa artinya mempunyai jiwa, keras dengan tidak melakukan Pertimbangan.

Rabu, 27 Juli 2016

Materi Pembelajaran : Susila 
 A. Pengertian Susila 
Tri Kerangka agama Hindu adalah 3 bagian dari inti ajaran agama Hindu, yaitu tattwa (filsafat), susila (etika), dan upacara (ritual). Pada bab ini yang di bahasa adalah bagian kedua dari Tri Kerangka agama Hindu, yaitu Susila / Etika. Susila berasal dari bahasa Sanskerta,yaitu kata “Su” yang artinya baik, dan “Sila” yang artinya tingkah laku. Jadi Susila adalah tingkah laku yang baik. Manusia tidak dapat hidup sendiri dan pasti bergantung dengan orang lain,maka manusia disebut mahluk sosial.Dalam hidup tersebut, perlu adanya suatu peraturan untuk mengatur kehidupan ini. Peraturan dalam bertingkah laku yang baik disebut sebagai Tata Susila, dan Agama merupakan dasar tata susila. Dari semua itu, timbullah suatu ajaran yang disebut “Tat Twam Asi” yang berarti itu adalah engkau (Tuan), semua makhluk itu adalah Engkau, Engkaulah awal mula roh (Jiwatman), dan Sat (prakerti) semua makhluk. Hamba ini adalah makhluk yang berasal dari Mu, oleh karena itu Jiwatmanku dan prakertiku tunggal dengan Jiwatman dan prakerti semua makhluk. Oleh karena itu aku adalah Engkau, aku adalah Brahman “Aham Brahma Asmi” . Demikianlah yang tercantum di dalam kitab Brhadaranyaka Upanisad.Jadi prinsip dasar Susila Hindu adalah adanya satu Atmanyang meresapi segalanya.Bila kamu merugikan makhuk lain,berarti kamu merugikan dirimu sendiri,karena segenap alam tiada lain adalah dirimu sendiri.Di antara makhluk hidup, manusia merupakan makhluk paling istimewa, makhluk yang paling sempurna karena memiliki tri pramana (bayu, sabda, idep). Dengan Idep, manusia mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk serta mampu melebur perbuatan buruk ke dalam perbuatan baik. Ajaran Susila hendaknya diterapkan di dalam kehidupan kita di dunia ini, karena di dunia inilah tempat kita berkarma.Untuk dapat meningkatkan diri, manusia harus mampu meningkatkan sifat-sifat baik dan mulia yang ada pada dirinya. Pada dasarnya dalam diri manusia ada dua kecenderungan, yaitu kecenderungan berbuat baik dan kecenderungan berbuat buruk. Sri Kresna di dalam kitab Bhagawadgita membagi kecenderungan budhi manusia menadi dua bagian, yaitu : 1. Daiwi Sampad, yaitu sifat-sifat kedewaan. 2. Asuri Sampad, yaitu sifat-sifat keraksasaan. Daiwi Sampad dimaksudkan untuk menuntun perasaan manusia ke arah keselarasan antara sesama manusia, dan sifat seperti inilah yang perlu dibina. Kemudian, kita mengenal sifat-sifat Asuri Sampad (sifat-sifat yang buruk) yang harus kita hindari. Perkembangan kecenderungan sifat-sifat Daiwi Sampad dan Asuri Sampad pada manusia tersebut ada yang timbul karena faktor luar dan ada pula faktor dari dalam diri sendiri serta ada pula dari kedua faktor tersebut. B. Tri Guna Tri Guna adalah tiga sifat yang mempengaruhi tingkah laku manusia,yang terdiri dari : Sattwam adalah sifat tenang, Rajas adalah sifat dinamis, Tamas adalah sifat laman. Tri Guna terdapat pada setiap manusia hanya saja ukurannya berbeda-beda. Tri Guna merupakan tiga macam elemen atau nilai-nilai yang ada hubungannya dengan karakter dari makhluk hidup khususnya manusia. Di dunia ini, tak seorang pun yang luput dari Tri Guna. Ketiga guna tersebut merupakan satu kesatuan yang berkerja sama dalam kekuatan yang berbeda-beda. Perpisahan di anatara tiga guna itu tidak mungkin terjadi karena dengan demikian tidak akan ada suatu gerak apa pun pada manusia. Berdasarkan pengaruh Tri Guna tersebut, sifat-sifat manusia itu ada yang digolongkan ke dalam sifat-sifat yang baik dan ada yang buruk. Namun perlu diingat, di dalam kerja sama antara ketiga guna tersebut sattwamlah seharusnya sebagai pengendali, geraknya dibantu oleh rajah, dan tamah sebagai pengerem. Bila kerjasama antar ketiganya tidak ada, tri guna ini akan menghadapi rintangan. Misalnya pada sifat seseorang tamah lebih dominan dibandingkan yang lain, maka orang tersebut merupakan orang yang memiliki sifat lamban, malas, kurang disiplin. Maka dari itu, sangat diperlukan kerjasama yang baik dan seimbang di dalam Tri Guna. C. Dasa Mala Dasa Mala merupakan salah satu bentuk dari asubha karma selain, Tri Mala, Sad Ripu, Sad Atatayi, dan Sapta Timira. Dasa Mala merupakan sumber dari kedursilaan, yaitu bentuk perbuatan yang bertentangan dengan susila yang cenderung kepada kejahatan. Semua perbuatan yang bertentangan degnan susila hendaknya kita hindari dalam hidup ini agar terhidar dari penderitaan. Bila kita ingin hidup tenang, kita harus melebur perbuatan buruk ke dalam perbuatan baik. Dasa Mala terdari dari : 1. Tandri artinya orang yang maals, suka makan dan tidur saja, tidak tulus, hanya ingin melakukan kejahatan. 2. Kleda artinya berputus asa, suka menunda, dan tidak mau memahami maksud orang lain. Sikap putus asa, suka menunda-nunda suatu pekerjaan adalah merupakan sikap yang didominasi oleh sifat-sifat tamas. 3. Leja artinya berpikiran, bernafsu besar, dan gembira melakukan kejahatan. Pikiran paling menentukan kualitas prilaku manusia dalam kehidupan di dunia ini. pikiranlah yang mengatur gerak sepuluh indria sehingga disebut Raja Indria. Apabila Raja Indria tidak baik maka indria yang lain pun menjadi tidak baik pula. 4. Kutila artinya menyakiti orang lain, pemabuk, dan penipu. Menyakiti dan membunuh makhluk lain, lebih-lebih manusia merupakan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama. Kutila juga berarti pemabuk. Orang yang suka mabuk maka pikirannya akan menjadi gelap. Pikiran yang gelap akan membuat orang tersebut melakukan hal-hal yang bersifat negatif termasuk menyakiti orang lain, menipu dan sebagainya. Di dalam pergaulan ia akan terlihat kasar dalam berkata atau pun bertindak, suka menyakiti orang lain. 5. Kuhaka artinya pemarah, suka mencari-cari kesalahan orang lain, berkata sembarangan, dan keras kepala. 6. Metraya adalah suka berkata menyakiti hati, sombong, irihati, dan suka menggoda istri orang lain. 7. Megata artinya berbuat jahat, berkata manis tetapi pamrih. Lain dimulut lain dihati, berkata manis karena ada udang dibalik batu, adalah perbuatan yang sering dilakukan oleh orang yang terlalu pamrih. 8. Ragastri artinya bernafsu dan suka memperkosa. Ragastri merupakan sifat-sifat yang bertentangan ajaran agama. Sifat-sifat asuri sampad / sifat-sifat keraksasaan. Memperkosa kehormatan orang lain adalah perbuatan terkutu dan hina. 9. Bhaksa Bhuana artinya suka menyakiti orang lain, penipu, dan hidup berfoya-foya. Berfoya-foya berarti mempergunakan arta melebihi batas normal. Hal ini tidak baik dan melanggar dharma, yang dapat berakibat tidak baik pula. Sering kita lihat di masyarakat, bahwa kekayaan yang berlimpah jika penggunanya tidak didasari oleh dharma pada akhirnya justru menyebabkan orang akan masuk neraka, seperti mabuk, mencari wanita penghibur, dan sebagainya. 10. Kimburu artinya penipu dan pencuri terhadap siapa saja tidak pandang bulu, pendengki dan irihati. Sifat dengan dan irihati merupakan salah satu sifat yang kurang baik (asubha karma) yang patut dihilangkan. Materi Pembelajaran : Tempat Suci A. Pengertian Tempat Suci Setiap agama yang ada di muka bumi ini memiliki tempat suci. Tempat suci bagi penganut agama yang bersangkutan merupakan sarana atau salah satu alat upakara untuk mengadakan kontak atau hubungan kehadapan Tuhan yang dipujanya. Di samping itu, keberadaan tempat suci untuk suatu agama juga merupakan salah satu persyaratan untuk mendapatkan pengakuan dari Negara. Tempat suci umat Hindu disebut dengan nama Pura. Kata pura berasal dari bahasa Sansekerta pur yang artinya kota, benteng atau tempat yang di kelilingi tembok. Berdasarkan arti kata tersebut maka Pura dapat diartikan sebagai tempat yang dikelilingi oleh tembok atau penyengker yang khusus sebagai tempat yang suci. Bentengan tembok itu fungsinya tiada lain adalah sebagai pemisah antara areal yang disucikan dan yang biasa. Meskipun demikian areal yang ada disekitar pura tersebut tetap mesti dijaga kebersihan, keindahan dan ketenangannya demi menjaga kesucian pura itu sendiri. Selain itu tembok penyengker juga berfungsi sebagai pelindung benda-benda yang ada di dalamnya agar tidak mudah terjamah dan tercemari kesuciannya. Tempat suci umat Hindu selain disebut dengan nama pura juga disebut dengan nama Kahyangan atau Parhyangan dan Sanggah atau Merajan. Pura sebagai tempat suci umat Hindu diperkirakan telah digunakan sejak zaman Dalem (sebutan untuk raja-raja Bali keturunan Kresna Kepakisan) berkuasa di Bali. Sebelum dikenal istilah pura, tempat suci sebagai tempat pemujaan Tuhan oleh umat Hindu di Indonesia, Bali, khususnya, dikenal dengan istilah Kahyangan atau Hyang. Pada zaman Bali Kuno, istilah yang digunakan oleh umat Hindu untuk menamakan tempat suci adalah Ulon. Ulon berarti tempat suci yang digunakan untuk mengadakan hubungan dengan Tuhan. Hal ini termuat dan dijelaskan dalam Prasasti Sukawana AI (Tahun 882 M). Demikian pula dalam Prasasti Pura Kehen disebutkan istilah Hyang. Berdasarkan Lontar Usana Dewa, Mpu Kuturanlah yang mengajarkan umat Hindu di Bali membuat Kahyangan Dewa, seperti pemujaan dewa di Jawa Timur. Mpu Kuturan adalah tokoh agama Hindu yang bersal dari Jawa. Beliau datang ke Bali pada masa pemerintahan Raja Marakata dan Anak Wungsu, putra Raja Udayana. Kedatangan Mpu Kuturan ke Bali banyak memberikan perubahan-perubahan pada masyarakat Bali terutama tentang tata cara upacara keagamaan. Beliau mengajarkan tata cara membuat Sad Kahyangan Jagat, Kahyangan Catur Lokapala, Kahyangan Rwabhineda, Pelinggih, Meru, Gedong, dan Kahyangan Tiga di setiap desa adat serta memperbesar Pura Besakih. Selain mengajarkan membuat bangunan secara fisik, beliau juga mengajarkan membuat bangunan secara spiritual, seperti berbagai jenis upacara, pedagingan pelinggih, dan sebagainya seperti dijelaskan dalam lontar Dewa Tattwa. Istana raja-raja di Bali sebelum diperintah oleh Dalem disebut dengan istilah Kedaton atau Keraton. Setelah dinasti Dalem memerintah di Bali, istana raja-raja disebut dengan istilah Pura. Hal ini disebabkan karena apa yang berlaku di Majapahit dilaksanakan juga di Bali sesuai dengan bunyi kitab Negarakertagama 73.3 menyebutkan bahwa apa yang berlaku di Majapahit demikian pula berlaku di Bali oleh dinasti Dalem. Keraton Dalem terletak di Samprangan disebut Lingarsa Pura. Keraton Dalem yang terletak di Gelgel disebut Suweca Pura dan Keraton Dalem yang terletak di Klungkung disebut Semara Pura. Setelah dinasti Dalem berkeraton di Klungkung atau Semara Pura, istilah pura mulai dipergunakan untuk menyebutkan nama tempat suci pemujaan, sedangkan istana raja disebut dengan nama Puri. Demikianlah istilah pura menjadi istilah untuk menyebutkan nama tempat suci bagi umat Hindu di Indonesia sampai sekarang. B. Struktur Pembuatan Tempat Suci Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) berada dimana-mana, tidak ada tempat yang tidak dipenuhi o leh-Nya. Dalam keadaan demikian, Dia disebut “wyapi-wyapaka nirwikara”. Tuhan Yang Maha Esa ada dimana-mana dan menjiwai alam semesta beserta isinya. Tuhan yang menyebabkan bumi berputar, matahari menguluarkan panas dan bersinar, tanah menghidupkan tumbuh-tumbuhan. Manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan mengalami lahir, hidup, dan mati. Tuhan yang menciptakan dan menjiwai alam semesta beserta isinya. Wujud nyata dari Tuhan adalah alam semesta ini, sedangkan di alam kosong Beliau disebut Sunya. Alam semesta adalah sthana atau tempatnya Tuhan Yang Maha Esa. Alam semesta ini sangat luas atau abstrak sehingga sulit diketahui secara utuh oleh manusia. Oleh karena itu, umat Hindu membuat simbol yang lebih kongkrit dari alam semesta sebagai tempat dari Tuhan. Melalui simbol-simbol yang tersusun itulah, umat Hindu melaksanakan pemujaan kepada Tuhan. Dalam Kakawin Dharma Sunya disebutkan sebagai berikut : “Bhatara Siva sira suwung, sifat ipun ikang kasar a wujud donya, kaanggap wangun ndi, yen karingkes dados ndi Himalaya, yen karingkes dados meru ndi kadi ning tanah Bali, yen karingkes malih dados titiang.” Artinya: Bhatara Siva amat gaib, sifat nyatanya berbentuk dunia dianggap bangunan itu, kalau diringkas menjadi gunung di Himalaya, kalau diringkas lagi menjadi Meru, seperti di Bali, Meru diringkas lagi menjadi diri kita. Demikianlah, Kakawin Dharma Sunya melukiskan atau menggambarkan alam semesta beserta isinya yang dijiwai oleh Tuhan Yang Maha Esa. Pada mulanya, gunung dianggap seperti stana atau linggih dari Tuhan Yang Maha Esa. Pangkal gunung sebagai simbol alam bawah (bhur loka), badan gunung sebagai alam tengah (bhwah loka) dan puncak gunung dipandang sebagai alam atas (swah loka). Menurut kepercayaan masyarakat Hindu Kuno di Indonesia, gunung dipandang sebagai alam dewa-dewa atau tempat Tuhan Yang Maha Esa. Struktur bangunan tempat suci pada umumnya dibagi menjadi tiga bagian, bhur loka, bhwah loka dan swah loka. Di Bali diwujudkan dengan penataan bangunan tempat suci dalam sebuah areal dibagi menjadi tiga bagian wilayah yang disebut dengan Tri Mandala yaitu : a. Nistha Mandala atau jaba sisi merupakan mandala yang tidak begitu suci karena areal ini merupakan tempat melakukan kegiatan manusia seperti pada umumnya selama kegiatan tersebut tidak melanggar hukum. Pada jaba sisi ini biasanya sebagai tempat parkir, hiburan, tempat berdagang, MCK dan sebagainya. b. Madia Mandala atau jaba tengah adalah areal yang bersifat setengah suci sebagai tempat melakukan kegiatan untuk mempersiapkan perlengkapan bagi pelaksanaan upacara seperti mejejahitan ataupun kegiatan yang lain. Pada Jaba Tengah ini biasanya terdapat bangunan seperti Bale Pesandekan, wantilan ataupun bale tempat gamelan. Akan tetapi meski status jaba tengah setengah suci, tetap mesti dijaga kesucuiannya dengan mengenakan pakian adat kepura bagi setiap orang yang memasukinya dan Mebanyuawang. c. Utama Mandala atau jeroan adalah areal yang paling suci. Setiap orang yang memasuki mandala ini harus memenuhi persyaratan kesucian seperti berpakaian yang semestinya, tidak dalam keadaan cuntaka dan mendapat Banyuawang sebelum masuk ke jeroan. Hal seperti ini penting untuk diperhatikan demi menjaga kesucian Pura itu sendiri. Berdasarkan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir terhadap aspek-aspek agama Hindu, telah ditetapkan pemilihan tempat dan penentuan denah untuk membangun tempat suci adalah sebagai berikut: 1. Membangun pemerajan/sanggah, letaknya di hulu pekarangan rumah. 2. Pura Desa, sebaiknya terletak ditengah-tengah desa pada tempat yang dipandang suci oleh Krama Desa bersangkutan. 3. Pura Puseh letaknya di hulu desa. 4. Pura Desa dan Pura Puseh boleh digabungkan dalam satu areal. 5. Pura Dalem sebaiknya terletak di hilir (teben) desa. 6. Palinggih Prajapati letaknya di hulu setra. C. Bentuk-Bentuk Tempat Suci Tempat suci umat Hindu terdiri atas berbagai macam bentuk. Bentuk-bentuk tersebut ada yang bersifat alami atau buatan. Namun, semua itu mengandung unsur-unsur alam. Pada bentuk tempat suci yang bersifat buatan terpatri unsur seni dari manusia yang dibuat dengan tetap memperhatikan serta menggunakan unsur-unsur alam. Berntuk-bentuk tempat suci umat Hindu yang digunakan untuk memuja kebesaran Tuhan (Sang Hyang Widhi Wasa), antara lain sebagai berikut: 1. Gunung Gunung merupakan bagian dari alam semesta yang diciptakan oleh Tuhan. Sampai saat ini, umat Hindu masih memiliki pandangan dan keyakinan bahwa gunung adalah tempat atau linggih Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta Istha Dewata dan Roh Leluhur yang telah suci. Umat Hindu di India memandang bahwa gunung Maha Meru adalah simbol alam semesta sehingga puncaknya disimbolkan sebagai tempat bersemayamnya Tuhan beserta manifestasi-Nya. Apabila di India, gunung Maha Meru diyakini sebagai tempat bersemayamnya para dewa-dewa, di Jwa gunung Semeru dipercaya oleh umat Hindu Jawa sebagai tempat bersemayamnya Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi-Nya, sedangkan di Bali gunung Agung yang dipandang sebagai tempat bersemayamnya Sang Hyang Widhi Wasa. Bagi umat Hindu, gunung adalah simbol alam semesta, tempat puncaknya melambangkan alam atas (swah). Bagian badannya adalah alam tengah (bwah), dan pangkalnya adalah alam bawah (bhur). Disanalah, Bhatara Siva bersemayam. Kitanb Kakawin Dharma Sunya menyebutkan sebagai berikut : “Bhatara Siva = Suwung. Sipat ipun ikang kasar a wujud donya, kanggep wangun ndi, yen karngkes dados meru ndi Himalaya, yen karingkes malih dados meru kadi ring tanah Bali, yen karingkes malih dados tiyang. Artinya: Bhatara Siva = Kosong Sifat kasarnya berbentuk dunia. Dianggap berbangun gunung. Jika diringkas lagi menjadi Meru (Gunung Himalaya), kalau diringkas lagi menjadi Meru seperti di Bali, makin diringkas lagi menjadi manusia. Uraian diatas adalah penggambaran tentang hakikat Bhatara Siva atau Tuhan Yang Maha Esa dalam perwujudannya yang kasar. Sedangkan wujud beliau yang lebih halus dijelaskan sebagai berikut : “Bhatara Siva = Suwung Sipat ipun ikang halus, inggih punika alusing donia, yen karingkes dados alusing ndi meru, yen karingkes dados alusing meru, yen karingkes malih dados alusing manusya. Artinya: Bhatara Siva = Hampa Sifat halusnya ialah halusnya alam. Kalau diringkas menjadi halusnya Meru, kalau diringkas lagi menjadi sangat halusnya Meru, kalau diringkas lagi menjadi halusnya manusia. Berdasarkan uraian dan penjelasan dari Kakawin Dharma Sunya di atas, dinyatakan pada zaman dahulu gunung diyakini sebagai sthana dan isthana Tuhan Yang Maha Esa beserta manifestasi-Nya. Barang kali pandangan ini jugalah yang melatar belakangi mengapa tempat-tempat suci umat Hindu di Bali umumnya dibangun dekat dengan gunung atau menghadap gunung. 2. Lingga Lingga adalah lambang yang digunakan oleh umat Hindu untuk memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Siva. Lingga adalah lambang Siva. Umat Hindu memiliki banyak sarana dengan berbagai macam bentuk yang digunakan untuk memuja kebesaran Tuhan. Kitab Bhagavadgita menyebutkan sebagai berikut : ye yatha mam prapadyante tam’s tathaiva bhajamy aham mama vartmanuvartante manusyah partha sarvasah. (Bhagavadgita, IV.11) Artinya: Jalan mana pun ditempuh manusia kea rah-Ku semuanya Ku-terima, dari mana-mana semua mereka menuju jalan-Ku oh-Parta. Demikian kitab suci menyebutkan, umat Hindu mendapatkan kebebasan dalam melaksanakan pemujaan kehadapan-Nya. Lingga adalah simbol gunung yang dikenal dengan istilah Linggacala atau lingga yang tetap tidak bergerak. Lingga dan gunung menurut keyakinan umat Hindu digunakan sebagai lambang alam semesta sebagai tempat bersemayamnya Sang Hyang Widhi Wasa. Pura Goa Gajah di daerah Gianyar, Bali, dapat dijumpai Lingga yang berjajar tiga diatas sebuah Yoni, tempatnya di ceruk goa sebelah timur. Lingga tersebut merupakan Lingga yang paling unik dan hanya dijumpai di Goa Gajah. Lingga tersebut diberi nama Tri Lingga. Berdasarkan bahan yang digunakan untuk membuatnya, Lingga dapat dibedakan sebagai berikut: a. Lingga phala (Lingga yang terbuat dari batu). b. Kanaka lingga (Lingga yang terbuat dari emas). c. Spatha lingga (Lingga yang terbuat dari permata). d. Gomaya lingga (Lingga yang terbuat dari tahi sapid an susu), terdapat di India. e. Lingga cala (Lingga sebagai gunung). f. Lingga (dewa-dewi) adalah Lingga yang terbuat dari banten, terdapat di Bali. Berdasarkan bentuknya Lingga dapat dibagi menjadi empat bagian sebagai berikut : a. Bagian puncak Lingga yang berbentuk bulat disebut Sivabhaga Lingga merupakan simbol dari sthana atau linggih dari Bhatara Siva. b. Bagian tengah Lingga yang berbentuk segi delapan disebut Visnubhaga merupakan simbol dari sthana atau linggih Bhatara Visnu. c. Bagian bawah Lingga yang berbentuk segi empat disebut Brahmabhaga merupakan simbol dari sthana atau linggih Bhatara Brahma. d. Dasar Lingga yang berbentuk empat dan pada salah satu sisinya terdapat sebuah saluran menyerupai mulut adalah tempat air dialirkan seperti pancuran. Dasar Lingga ini disebut dengan Yoni. Dari uraian diatas dijelaskan bahwa Sivabhaga, Visnubhaga, dan Brahmabhaga sebagai bagian dari Lingga yang melambangkan Purusa. Dasar Lingga yang disebut Yoni melambangkan Pradana. Pertemuan antara Purusa dan Pradana disebut juga sebagai pertemuan antara Akasa dan Prthiwi. Inilah yang mengakibatkan terjadinya kesuburan. Kesuburan yang dianugrahkan oleh Tuhan merupakan sumber dari kemakmuran umat manusia (umat Hindu). 3. Candi Candi merupakan salah satu karya manusia yang menurut pandangan umat Hindu adalah simbol alam semesta. Candi merupakan salah satu hasil budaya bangsa Indonesia yang memiliki nilai seni dan religi yang tinggi. Pemujaan umat Hindu kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa ketika kebudayaannya belum maju menggunakan cara yang sangat sederhana. Cara yang dimaksud seperti menggunakan gunung sebagai lambang alam semesta tempat bersemayam Sang Hyang Widhi Wasa. Dengan majunya peradaban manusia, kemudian gunung disimbolkan dengan candi. Gunung dipakai sebagai tempat suci oleh umat Hindu untuk memuja Tuhan dan candi merupakan bentuk tiruan (replica) dari gunung (Gunung Maha Meru). Dilihat dari bentuknya, candi melambangkan alam semesta dengan ketiga bagiannya. Atap candi melambangkan alam atas (swah loka), badan candi melambangkan alam tengah (bwah loka) dan kaki candi melambangkan alam bawah (bhur loka). Pada bagian lain, ada kepercayaan bahwa seorang penguasa atau raja merupakan penjelmaan atau reinkarnasi dari salah satu dewa. Dengan demikian, jika ia meninggal dunia dan dilaksanakan upacara penyucian terhadap rohnya, atma dari raja tersebut dipandang akan manunggal dengan dewa yang berinkarnasi. Dalam upaya melakukan pemujaan kepada roh yang telah dipandang suci itu dibuatlah arca perwujudan dengan mengambil bentuk menyerupai dewa yang berinkarnasi. Guna menempatkan arca perwujudan itu maka dibuatkan bangunan. Kitab Negara kertagama, Pararaton, dan prasasti-prasati yang terdapat di Indonesia menyebutkan bentuk bangunan seperti diatas dengan nama Dharma atau Sang Hyang Sudharma. Bentuk bangunan ini dalam perkembangan selanjutnya lebih populer disebut dengan nama candi. Pada zaman raja-raja Hindu di Indonesia, upaya dan usaha untuk membangun candi tumbuh dan berkembang dengan sangat pesat, antara lain, Candi Badut, Candi Jago, Candi Singosari, Candi Panataran, Candi Perwara, Candi Bajang Ratu, dan lainnya. Di Bali terdapat Candi Gunung Kawi. Candi-candi tersebut difungsikan sebagai tempat untuk memuja roh yang telah disucikan. 4. Meru Candi sebagai tempat suci untuk memuliakan Tuhan dengan prabhawanya mengalami perkembangan dan perubahan menjadi Meru. Sampai saat ini, perkembangan bentuk bangunan itu masih dapat kita lihat di Bali. Meru memiliki atap bertingkat-tingkat dari tingkat satu, tiga, lima, tujuh, Sembilan, sebelas. Meru masih tetap mencerminkan pembagian Tri Loka sebagaimana yang terdapat pada bentuk candi. Meru merupakan simbol atau lambang andhabhuana atau alam semesta. Tingkatan atapnya melambangkan lapisan alam besar dan alam kecil (makrokosmos dan mikrokosmos). Meru adalah lambang alam semesta sebagai tempat bersemayam Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi-Nya. Meru adalah lambang gunung Maha Meru. Gunung merupakan lambang alam semesta sebagai linggih atau sthana Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi-Nya secara objektif. Uraian tentang Meru sebagai lambang gunung juga dijelaskan dalam Lontar Andhabhuana Lontar Tantu Pagelaran, Kakawin Dharma Sunya, dan Lontar Usana Bali. Tingkatan-tingakat atap Meru merupakan simbol dari penggabungan Dasaksara. Dasaksara adalah simbol berupa huruf sebagai jiwa seluruh bagian dari alam semesta ini (hurip bhuana) disebutkan ada sepuluh huruf suci sebagai hurip bhuana yang diletakkan I seluruh penjuru alam semesta ini dan dua di anatara huruf suci itu ditempatkan pada arah tengah. Adapun kesepuluh huruf-huruf suci tersebut antara lain : - Sa bertempat di arah timur. - Ba bertempat di arah selatan - Ta bertempat di arah barat. - A bertempat di arah utara. - I bertempat di arah tenga. - Na bertempat di arah tenggara. - Ma bertempat diarah barat daya. - Si bertempat diarah barat laut. - Wa bertempat diaraah timur laut. - Ya bertempat di arah tengah. Penggabungan dari sepuluh huruf suci tersebut menghasilkan satu huruf suci yaitu, OM (Omkara). Dengan demikian, tingkatan-tingkatan pada atap Meru apabila dihubungkan dengan keberadaan huruf-huruf suci (lambang Ekadasa Dewata) terdapatlah bangunan meru yaitu sebagai berikut: - Meru beratap tingkat 9 merupakan lambang 8 huruf yang menempati 8 penjuru alam semesta ditambah satu huruf Omkara pada arah tengah menjadi 9 huruf suci sebagai lambang Dewata Nawa Sanga. - Meru beratap tingkat 7 merupakan lambang 4 huruf yang menempati 4 penjuru alam semesta ditambah tiga huruf yang menempati arah tengah yaitu, I, Om, Ya, menjadi tujuh huruf suci sebagai lambang Sapta Dewata atau Sapta Rsi. - Meru beratap tingkat 5 merupakan lambang dari 4 huruf menempati 4 penjuru alam semesta ditambah satu huruf Omkara yang menempati arah tengah menjadi 5 huruf suci sebagai lambang Panca Dewata. - Meru beratap tingkat 3 merupakan lambang dari 3 huruf yang menempati arah tengah yaitu I, Om, Ya, yang merupakan lambang dari Tri Purusa, yaitu Siva, Parama Siva, dan Sada Siva. - Meru beratap tingkat 2 merupakan lambang 2 huruf yang menempati arah tengah yaitu I dan Ya yang merupakan lambang dari Purusa dan Pradana. - Meru beratap tingkat 1 adalah lambang dari huruf Om yang merupakan lambang dari Sang Hyang Widhi Wasa yang Tunggal. - Meru beratap tingkat 11 merupakan lambang 11 huruf suci, yaitu, Sa, Ba, Ta, A, I, Na, Ma, Si, Wa, Ya, dan Om yang merupakan lambang dari Eka Dasa Dewata. Meru merupakan lambang ibu dan bapak. Istilah ibu dan bapak berdasarkan Lontar Andhabhuana dimaksudkan bahwa kata ibu mengandung makna Ibu Pertiwi. Artinya, unsur pradhana tattwa dan kata bapak mengandung makna Aji Akasa yaitu unsur purusa tattwa. Pertemuan antara Purusa dengan Pradhana menyebabkan munculnya kekuatan maha besar yang menyebabkan terciptanya alam semestra ini beserta isinya. Hal inilah yang dijadikan sebagai landasan pembangunan Meru yang difungsikan sebagai tempat untuk melaksanakan pemujaan roh suci leluhur yang bersemayam dilingkungan komplek Pura Besakih. Berdasarkan bentuknya, bangunan Meru yang dipergunakan untuk melaksanakan pemujaan kehadapan para dewa dengan roh suci leluhur sangat sulit dibedakan. Lontar Hastakosala membedakan bangunan Meru berdasarkan ukuran sikut yang dipakai untuk membangunnya, sedangkan Lontar Dewa Tattwa membedakannya berdasarkan pedagingan yang diisi atau disimpan pada bangunan Meru dan tempat suci atau pelinggih lainnya. 5. Padmasana Padmasana berasal dari kata padma dan asana. Padma berarti bunga teratai. Asana berarti tempat duduk. Dengan demikian padmasana adalah tempat duduk dari bunga teratai. Dalam pandangan umat Hindu, padmasana diartikan sebagai simbolis dari alam semesta sebagai istananya Sang Hyang Widhi Wasa yang dibangun dalam bentuk bangunan yang menjulang tinggi. Penemuan sejarah bidang agama menyebutkan bahwa para Dewa Hindu dilukiskan sebagai arca yang duduk diatas bungai teratai. Patung-patung dewa yang digambarkan duduk diatas bunga teratai banyak kita jumpai pada masa pemerintahan raja-raja Kediri, Singasari, Majapahit serta raja-raja Hindu di Bali. Bunga teratai memiliki helai daun berjumlah delapan delapan dan dapat dihubungkan dengan Asta Iswarya yaitu para dewa yang menguasai delapan penjuru arah dari alam semesta ini. Bunga teratai juga memiliki sifat dapat hidup pada tiga lapisan alam, seperti akarnya hidup didalam lumpur, daunnya hidup di arid an bunganya di udara. Ini dapat dihubungkan dengan Tri Bhuana yaitu bhur, bhwah, swah. Bunga teratai juga disebut dengan nama “Pangkaja” yang artinya lahir dari lumpur. Beberapa kitab Purana menceritakan bahwa para dewa muncul dari padmasana. Padmasana itu adalah lambang dari gunung Maha Meru yang juga sebagai simbol alam semesta tempat bersthananya Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam kenyataannya, bentuk bangunan padmasana seperti yang sering kita lihat di Bali (khususnya) adalah sebuah bangunan yang menjulang tinggi berbentuk Bedawang Nala yang dililit oleh dua ekor naga (Naga Besuki dan Naga Anantha Boga). Pada bagian tengah-belakang terdapat lukisan burung Garuda, di atasnya terdapat burung angsa, dan pada bagian samping kiri dan kanan dari singgasana terdapat lukisan Naga Taksaka. Dari seluruh bentuk bangunan itu, kita tidak dapat melihat lukisan padma. Untuk mengetahui semuanya itu, ada baiknya kita memperhatikan puja yang digunakan oleh pendeta (Siva-Buddha) pada saat mensthanakan (ngelinggihang) Sang Hyang Widhi Wasa. Di dalam Lontar Widhi Sastra menyebutkan tentang jenis-jenis pedagingan tempat suci, seperti Padmasana, Meru, Gedong, serta bangunan suci lainnya. Dalam jenis-jenis pedagingan inilah, kita jumpai bentuk pedagingan berupa padma. Pedagingan padmasana selengkapnya adalah banten suci, peras, dan lain-lainnya merupakan benda berbentuk logam dari Panca Datu, sebagai akar pesimpenan adalah uang kepeng. Logam diwujudkan sebagai kuwali yang melukiskan catur lokaphala, yaitu lukisan segi empat atau singsana sebagai lambang istana Tuhan Yang Maha Esa. Pada bagian belakang-tengah bangunan padmasana dihiasi dengan lukisan burung Garuda. Burung garuda adalah lambang dari perjuangan untuk mendapatkan kebebasan dengan mencari air kehidupan atau tirtha amertha. Pada bagian belakang padmasana, diatas burung garuda dilukiskan burung angsa yang sedang mengembangkan kedua sayapnya. Lontar indik tetandingan menjelaskan bahwa lukisan angsa adalah simbol dari Ongkara. Kedua sayapnya yang sedang mengembang melukiskan Ardha Chandra, yaitu bulan sabit. Badannya yang bulat melukiskan Windu, sedangkan leher dan kepalanya yang menjulur keatas melambangkan Nada. Angsa adalah jenis burung yang dalam tradisi Hindu digunakan sebagai lambang untuk melukiskan Ongkara, yaitu aksara suci Hindu. Padmasana dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu sebagai berikut : a. Padmasana Berdasarkan Tempatnya. Dalam Lontar Wariga Catur Winasasari disebutkan berdasarkan tempatnya, bangunan padmasana di klasifikasikan menjadi 9 macam, antara lain sebagai berikut : - Padma Kencana adalah padmasana yang terletak disebelah timur dan menghadap kearah barat. - Padmasana adalah padmasana yang terletak disebelah selatan dan menghadap ke arah utara. - Padmasari adalah padmasana yang terletak disebelah barat dan menghadap kea rah timur. - Padmalingga adalah padmasana yang terletak disebelah utara dan menghadap kearah selatan. - Padma Asta Sodana adalah padmasana yang terletak disebelah tenggara dan menghadap kearah barat laut. - Padma Noja adalah padmasana yang terletak disebelah barat daya dan menghadap kearah timur laut. - Padma Karo adalah padmasana yang terletak disebelah barat laut dan menghadap kearah tenggara. - Padma Saji adalah padmasana yang terletak di sebelah timur laut dan menghadap kearah barat daya. - Padma Kurung adalah padmasana yang terletak ditengah-tengah menghadap kearah pintu keluar (Lawangan). Kesembilan padmasana ini merupakan perwujudan yang konkrit dari ajaran agama Hindu yang meyakini bahwa Sang Hyang Widhi Wasa berada di mana-mana (wyapi-wyapaka nirwikara). b. Padmasana Berdasarkan Rong (ruang) dan Palihnya (tingkatanya) Berdasarkan jumlah ruang dan tingkatannya, bangunan padmasana diklasifikasikan menjadi 5 macam yang teridiri dari yaitu sebagai berikut : • Padma Anglayang adalah padmasana yang memiliki tiga ruangan dan menggunakan dasar Bedawang Nala dan memakai palih tiga. • Padma Agung adalah padmasana yang memiliki ruangan dua dan memakai dasar Bedawang Nala dan menggunakan palih lima. • Padmasana adalah padmasana yang memiliki satu ruangan dan menggunakan dasar Bedawang Nala dan memakai palih lima. • Padmasari adalah padmasana yang memiliki satu ruangan, tidak memakai dasar Bedawang Nala, dan menggunakan palih tiga, yaitu palih taman, palih sacak, dan palih sari. • Padmacapah adalah padmasana yang memiliki ruangan satu, tidak memakai Bedawang Nala, dan mempergunakan palih dua. Dijelaskan juga bahwa bangunan Padmasari dan Padmacapah dapat ditempatkan secara menyendiri dan difungsikan hanya sebagai penyawangan atau penghayatan. Pedagingan yang dipakai untuk Padmasari dan Padmacapah pada umumnya hanya pedagingan dasar (bawah). Sedangkan bangunan Padmasana yang lainnya mempergunakan tiga pedagingan, yaitu pada bagian dasar (bawah), tengah, dan atas dari bangunan itu. f. Pura 1. Pengertian Pura Pura adalah tempat suci umat Hindu untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa. Selain itu pura juga merupakan benteng umat Hindu yang bersifat rohaniah agar terlepas dari pengaruh-pengaruh yang kurang baik dalam kehidupan ini. Pura sebagai tempat suci pada umumnya dibagi menjadi tiga areal dalam satu komplek berbentuk garis horizontal. Adapun areal pura yang dimaksudkan adalah sebagai berikut: • Jeroan merupakan areal atau bagian terdalam dari pura. Bagian ini diletakkan atau dibangun pelinggih-pelinggih utama yang melambangkan alam atas dan Swah Loka. • Jaba Tengah merupakan bagian tengah dari pura. Areal ini melambangkan bagian tengah dari alam semesta yang disebut Bhwah Loka. • Jaba Sisi merupakan bagian luar dari pura. Areal ini melambangkan alam bawah dari alam semesta yang disebut Bhur Loka. Berdasarkan fungsinya, pura dikelompokkan menjadi dua yaitu sebagai berikut: • Pura Jagat (umum) adalah pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa beserta segala macam prabhawa-Nya. • Pura Kawitan (khusus) adalah pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja Atma Sidha Dewata (roh suci leluhur). 2. Jenis-jenis Pura • Pura Teritorial Pura ini memiliki memiliki cirri-ciri kesatuan wilayah sebagai tempat pemujaan suatu desa pakraman atau adat. Pura territorial ini disebut juga Pura Kahyangan Desa. Penyungsung Pura Kahyangan Desa ini terbatas pada suatu wilayah tertentu dan disungsung oleh umat (krama) desa adat atau pekraman yang ada pada wilayah yang bersangkutan saja. Ciri khas suatu desa prakraman / adat adalah memiliki tiga pura disebut pura Kahyangan tiga. Pura Kahyangan Tiga adalah tempat suci umat Hindu yang difungsikan untuk melaksanakan pemujaan kehadapan kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa dalam prabhawa-Nya atau manifestasi-Nya sebagai Tri Wisesa atau Tri Murti. Jenis pura yang tergolong Kahyangan Tiga itu adalah sebagai berikut : a. Pura Desa atau Pura Bale Agung Pura Desa atau Pura Bale Agung merupakan tempat suci umat Hindu untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa Brahma. Dewa Brahma merupakan prabhawa Sang Hyang Widhi Wasa sebagai pencipta, yaitu menciptakan segala yang ada di alam semesta ini. b. Pura Puseh Pura Puseh merupakan tempat suci umat Hindu untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Visnu. Dewa Visnu merupakan prabhawa Sang Hyang Widhi Wasa sebagai pemelihara semua ciptaan-Nya. c. Pura Dalem Pura Dalem merupakan tempat suci umat Hindu untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam prabhawanya sebagai Dewa Siva. Dewa Siva merupakan manifestasi Sang Hyang Widhi Wasa dalam fungsinya sebagai pemralina atau pelebur, yang disebut Dewi Durga. Desa adat atau pakraman yang terdapat di Bali memiliki tanggung jawab moral dan material terhadap keberadaan Pura Kahyangan Tiga yang ada diwilayahnya. Disamping Pura Kahyangan Tiga, terdapat pula pelinggih d. Pura Prajapati. Pura Prajapati merupakan tempat pemujaan Sang Hyang Widhi Wasa dalam prabhawanya sebagai Sang Hyang Prajapati. Pura Prajapati disebut juga Pura Ulu Setra atau Kuburan. Pura ini juga yang menjadi tanggung jawab desa adat atau pakraman khususnya ada di Bali. • Pura Swagina atau Pura Fungsional Pura Swagina adalah tempat suci umat Hindu untuk melakukan pemujaan kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi-Nya yang para penyungsungnya terikat oleh ikatan swagina atau kekaryaan yang mempunyai profesi sama dalam system mata pencarian hidup. Berbagai jenis puranya, seperti Pura Bedugul, Pura Subak (Ulun Suwi), Pura Melanting, dan pura lainnya yang sejenis. • Pura Kawitan atau Pura Keluarga Pura kawitan adalah pura yang penyungsungnya ditentukan oleh ikatan wit atau leluhur berdasarkan garis kelahiran (Geneologis). Jenis puranya, seperti Sanggah atau Merajan, Pura Ibu, Pura Panti, Pura Dadia, Pura Pedharman, dan Pura lainnya yang sejenis. D. Fungsi Tempat Suci • Sebagai lambang alam semesta. • Sebagai sarana pemujaan Tuhan beserta prabhawa-Nya. • Sebagai sarana pemujaan roh suci leluhur. • Sebagai sarana menumbuhkan keterampilan yang berkualitas. • Sebagai tempat mengembangkan seni budaya. • Sebagai tempat membina sraddha umat. • Sebagai tempat menata kehidupan social umat. • Sebagai tempat membina ketahanan rohani dan jasmani umat. • Sebagai tempat menyelenggarakan yajna. E. Pelestarian Tempat Suci • Melaksanakan Panca Yajna • Membangun Tempat Suci • Menjaga Kesucian Tempat Suci • Menjaga Keasrian tempat suci Materi Pembelajaran : Sraddha A. pengertian Atman Atman atau Atma Ātmā, berasal dari bahasa Sansekerta dalam Hindu merupakan percikan kecil dari Brarman/Hyang Widhi yang berada di dalam setiap makhluk hidup. Atman di dalam badan manusia disebut: Jiwatman atau Jiwa atau Roh yaitu yang menghidupkan manusia. Demikianlah atman itu menghidupkan sarwa prani (makhluk di alam semesta ini).Indra tidak dapat bekerja bila tidak ada atman.Atman itu berasal dari Brahman/Hyang Widhi, bagaikan Matahari dengan sinarnya. Brahman sebagai matahari dan atman-atman sebagai sinar-Nya yang terpencar memasuki dalam hidup semua makhluk. Atman berfungsi sebagai: - Sebagai sumber hidup citta (alam pikiran) dan stula sarira (badan wadag) dari segala mahluk - Bertanggung jawab atas baik buruknya perbuatan (karma) dari segala mahluk - Menjadi sumber hidup suksma sarira (badan halus) dari segala mahluk B. Sifat-sifat Atman Atman merupakan bagian dari Tuhan/tunggal adanya dengan Tuhan. Seperti halnya Tuhan yang memiliki sifat–sifat khusus, atman juga mempunyai sifat–sifat, seperti yang tertuang dalam kitab Bhagawad Gita, yakni : na jayate mriyate va kadacin nayam bhutva bhavita van a bhuyah ajo nitya sasvato yam purano na hayate hayamane sarire (Bhagawad Gita II.20) artinya : Ia tidak pernah lahir dan juga tidak pernah mati atau setelah ada tak akan berhenti ada. Ia tak dilahirkan, kekal, abadi, sejak dahulu ada; dan Dia tidak mati pada saat badan jasmani ini mati. nai nam chindanti sastrani nai namdahati pawakah na cai nam kledayanty apo na sosayati marutah (Bhagawad Gita II.23) artinya : Senjata tak dapat melukai-Nya, dan api tak dapat membakar-Nya, angin tak dapat mengeringkan-Nya dan air tak dapat membasahi-Nya. acchedyo yam adahyo yam akledyo sasya eva ca, nittyah sarwagatah sthanur acalo yam sanatanah (Bhagawad Gita II.24) artinya : Sesungguhnya dia tidak dapat dilukai, dibakar dan juga tak dapat dikeringkan dan dibasahi; Dia kekal, meliputi segalanya, tak berubah, tak bergerak, dan abadi selamanya. Avyakto yam acityo yam avikaryo yam ucyate, tasmad evam viditvainam nanusocitum arhasi (Bhagawad Gita II.25) artinya : Dia tidak dapat diwujudkan dengan kata–kata, tak dapat dipikirkan dan dinyatakan, tak berubah–ubah; karena itu dengan mengetahui sebagaimana halnya, engkau tak perlu berduka. Berdasarkan uraian sloka–sloka Bhagawad Gita diatas dapat disimpulkan sifat–sifat atman sebagai berikut : 1. acchedya berarti tak terlukai senjata, 2. adahya berarti tak terbakar oleh api, 3. akledya berarti tak terkeringkan oleh angin, 4. acesya berarti tak terbasahkan oleh air, 5. nitya berarti abadi, 6. sarwagatah berarti ada di mana-mana, 7. sathanu berarti tidak berpindah – pindah, 8. acala berarti tidak bergerak, sanatana berarti selalu sama dan kekal, 9. awyakta berarti tidak dilahirkan, 10. achintya berarti tak terpikirkan, 11. awikara berarti tidak berubah, 12. sanatana berarti selalu sama. B. Hubungan antara Atman dengan Brahman Ada beberapa sloka yang memberikan penjelasan tentang hugungan Brahman dengan Ataman: Sariram brahma pravisat sarire-adhi prajapatih (Atharwa Weda XI. 8.30) Artinya: Sang hyang Widhi Wasa memasuki tubuh manusia dan dia menjadi raja tubuh itu. Iyam kalyani ajara martyasyaamerta grahe (Atharwa Weda X. 8. 26) Artinya: Dewa yang kekal dan bertuah itu bertempat tinggal didalam tubuh manusia yang fana. Aham atma gudakesa,sarvabhutasyasthitah aham adis cha madhyam cha, butanam anta eva cha (Bhagawad Gita X. 20) Artinya: Oh arjuna, aku adalah atman yang menetap dalam hati semua mahluk, aku adalah permulaan, pertengahan, dan akhir dari semua mahluk. Pada dasarnya Ataman adalah Brahman yang seutuhnya. Namun karena keterbatasan kemampuan seseorang tidak mengetahui bahwa Ataman yang ada pada dirinya itu sesungguhnya adalah Brahman. Brahman (Atman) sebagai sumber hidup, sedangkan alam pikiran dan badan wadahnya adalah alat untuk hidup. Badan/tubuh manusia terdiri dari tiga lapisan badan yang disebut Tri Sarira: 1. Sthula Sarira yaitu badan kasar terdiri dari: tulang, daging, otot, sumsum, darah, dan kulit, yang semuanya itu dibentuk oleh unsur-unsur Panca Mahabhuta. 2. Suksma Sarira yang dibentuk oleh Budhi, Manah, dan Ahamkara. 3. Antahkarana Sarira yaitu badan penyebab. Ketiganya ini baru bekerja menurut sifatnya masing-masing, apabila mendapat sinar cahaya dari Jiwatman.